Kamis, 21 Februari 2013

Sejarah Singkat Lokasi Wisata Banyumas Baturaden

Sejarah Singkat Baturaden

Baturaden merupakan salah satu lokawisata alam yang terletak di lembah gunung Slamet bagian selatan, masuk kabupaten Banyumas. Bicara soal sejarah ada dua versi, yaitu versi Kadipaten Kutaliman dan versi Syekh Maulana Maghribi.

Versi Kadipaten Kutaliman
Menurut versi ini, konon dahulu terdapat sebuah Kadipaten ‘KUTALIMAN’ yang terletak 10 km disebelah Barat Baturraden. Adipatinya mempunyai beberapa anak perempuan dan seorang ‘gamel’ (pembantu yang menjaga kuda). Salah satu anak perempuannya jatuh cinta dengan gamel. Cinta mereka dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Mendengar kabar tersebut, sang Adipati marah dan mengusir gamel dan anak perempuannya dari rumah.

Di perjalanan sang putri melahirkan bayi di dekat sungai, kemudian mereka menamakannya sungai ‘Kaliputra’. (Kali berarti Sungai dan Putra berarti anak laki-laki). Letaknya kira-kira tiga kilometer sebelah utara Kutaliman. Akhirnya mereka menemukan tempat yang indah dan memutuskan untuk tinggal di tempat yang sekarang dikenal dengan nama ‘Baturraden’. Berdasarkan versi pertama tersebut, nama Baturaden seharusnya ditulis dengan dua ‘R’ karena versi tersebut berasal dari kata ‘Batur’ dan ‘Raden’ menjadi ‘BATURRADEN’.

Versi Syekh Maulana Maghribi
Konon di Negara Rum, bertahta seorang Pangeran bernama Syekh Maulana Maghribi berasal dari Turki yang memeluk agama Islam dan dia adalah seorang ulama. Pada waktu fajar menyingsing, setelah beliau melakukan kewajibannya selaku orang muslim, terlihatlah oleh beliau cahaya terang misterius bersinar disebelah timur menjulang tinggi di angkasa.

Terdorong oleh perasaan ingin mengetahui tempat darimana cahaya terang misterius itu datang dan makna dari cahaya terang tersebut, maka timbullah niat dan itikad yang kuat di dalam sanubarinya dan mencari tempat yang dimaksud. Seorang sahabatnya bernama Haji Datuk dipanggil dan diperintahkan supaya para hulubalang dan balatentaranya menyiapkan armada dengan segala perlengkapannya untuk berlayar menuju kearah datangnya cahaya misterius tersebut.

Maka,berangkatlah si Pangeran bersama-sama dengan sahabatnya itu 298 (dengan dua ratus sembilan puluh delapan) orang pengikutnya mengarungi samudera menuju kearah terlihatnya cahaya itu memancar selama 40 malam.
Kemudian sampailah mereka di ujung timur sebuah pulau yang bernama dengan Pulau Jawa. Adapun tempat dimana mereka membuang sauh dewasa ini terkenal dengan nama Pantai Gresik.

Meskipun mereka telah lama menempuh perjalanan penuh dengan berbagai kesulitan dan penderitaan serta menghadapi bermacam-macam marabahaya, mereka belum mencapai apa yang menjadi cita-cita atau tujuannya karena cahaya terang misterius tersebut tampak disebelah barat. Pada suatu waktu terlihat kembali cahaya terang yang sedang dicarinya itu disebelah barat dan mereka mengambil keputusan kembali karah barat dengan menempuh jalan di laut Jawa di pantai Pemalang Jawa Tangah, dimana mereka berlabuh sambil sekedar melepas lelah. Ditempat ini Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan untuk sementara bermukim ditempat itu.

Karena mereka mempunyai kepercayan pada Yang Maha Pencipta, mereka dijiwai oleh kekuatan Gaib yang tiada kunjung padam dan berketetapan hati akan melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki menuju kearah Selatan sambil menyebarkan agama Islam. Dari Pemalang mereka menuju ke selatan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal bahaya yang dihadapinya karena tertarik sinar cahaya misterius yang sekarang terlihat di Timur Laut. Berhubung jalur yang ditempuhnya itu meletihkan, maka mereka berhenti sejenak untuk melepaskan lelahnya sambil termenung merasakan kisah perjalanannya serta kewajibannya yang dibebankan diatas pundaknya untuk menyebarluaskan agama Islam. Tempat dimana mereka beristirahat dengan diliputi pikiran-pikiran (gagasan-gagasan) dan perasaan-perasaan yang memenuhi hati sanubarinya diberi nama ‘Paduraksa’ yang artinya bertengkar didalam kalbu atau rasa.

Dari tempat itu mereka meneruskan perjalanannya ke selatan lagi dan sampailah mereka di hutan belukar dan untuk melepaskan lelahnya mereka singgah diatas tonggak randu yang tumbang dan tempat tersebut mereka beri nama ‘Randudongkal’. Dari tempat peristirahatannya itu, cahaya terang masih kelihatan ada di timur laut, dan mereka meneruskan perjalanannya menuju arah cahaya tadi. Dan sebelum mereka sampai ketempat yang menjadi tujuannya mereka berhenti untuk beristirahat di dekat Sendang (kolam) untuk melakukan ibadah Sholat, dan sesudahnya tempat tersebut diberi nama ‘Belik’. Setelah melakukan Sholat, maka perjalanan diteruskan kearah timur dan sampailah disuatu tempat, dimana terdapat banyak batu-batuan dan di tempat tersebut mereka beristirahat lagi sambil memikirkan bagaimana cara mereka dapat menjangkau tempat kedudukan cahaya yang dicarinya, karena cahaya terang tersebut terlihat ada dipuncak Gunung. Tempat dimana mereka beristirahat dan terdapat banyak batu-batuan itu diberi nama ‘Watu Kumpul’.

Karena tekadnya yang kuat, pendakian itu dilakukan hingga akhirnya sampailah mereka di tempat yang dituju. Terlihat oleh mereka seorang pertapa yang menyandarkan dirinya pada sebatang pohon jambu yang mengeluarkan sinar yang bercahaya menjulang tinggi ke angkasa. Perlahan-lahan Syekh Maulana Maghribi dan Haji Datuk menuju mendekati tempat tersebut sambil mengucapkan salam ‘Assalamu’alaikum’, tetapi tidak dijawabnya oleh si petapa meskipun berulangkali diucapkan. Setelah ternyata salamnya tidak mendapat jawaban, maka Haji Datuk berkata pada Syekh Maulana Maghribi : ‘Kiranya pertapa itu adalah seorang Budha’. Mendengar perkataan tersebut, si petapa itu lalu menjawab : ‘Sesungguhnya saya ini adalah orang Budha yang Sakti’. Mendengar kata-kata sakti maka Syekh Maulana Maghribi meminta kepada pemeluk agama Budha tadi, bahwa beliau ingin melihat atau menyaksikan kesaktiannya,maka diambillah tutup kepalanya yang berupa kopiah itu dapat terbang di angkasa.

Syekh Maulana Maghribi tergolong orang yang mempunyai kesaktian dan didorong oleh rasa ingin mengimbangi kemukjizatan si pertapa itu, lalu melepaskan bajunya dan dilemparkan keatas, ternyata baju tersebut dapat terbang di udara dan selalu menutupi kopiah si pertapa yang menandakan bahwa kesaktiannya lebih unggul dari kesaktian orang Budha itu,tetapi ia belum mau menyerah dan masih akan mempertontonkan lagi kepandaiannya yang berujud menyusun telur setinggi langit. Melihat keadaan tersebut diatas Syekh Maulana Maghribi merasa heran, namun demikian ia tidak mau dikalahkan begitu saja, maka dengan tenangnya diperintahkan kepada si pertapa agar ia mau mengambil telur itu satu persatu dari bawah tanpa ada yang jatuh. Ternyata pertapa itu tidak sanggup melakukannya. Karena si pertapa sudah benar-benar tidak melakukannya hal tersebut, maka Syekh Maulana Maghribi mengambil tumpukan telur tadi dimulai dari bawah sampai selesai dengan tidak ada satupun yang jatuh.

Syekh Maulana Maghribi masih merasa belum puas dan masih meneruskan perjuangannya sekali lagi dengan memperlihatkan pemupukan periuk-periuk berisi air sampai menjulng tinggi. Lalu, Syekh Maulana Maghribi berkata : ‘Ambillah periuk-periuk itu satu demi satu dari bawah tanpa ada yang berjatuhan’. Setelah ternyata tidak ada kesanggupan daari si pertapa, maka beliau sendirilah yang melakukannya dan periuk yang terakhir itu pecah dan airnya memancar kesegala penjuru.

Akhirnya si pertapa yang mengaku bernama ‘Jambu Karang’ (nama tersebut berasal dari pohon sandarannya, yaitu sebatang pohon jambu dimana disekelilingnya terdapat batu-batuan) menyerah kalah serta berjanji akan memeluk agama Islam. Janji tersebut diterima oleh Syekh Maulana Maghribi dan Jambu Karang diperintahkan untuk memotong rambut dan kukunya dan selnjutnya dikubur di ‘Penungkulan’ (tempat dimana si pertapa menyerah kalah). Kemudian dilakukan upacara penyucian dengan air zam-zam yng dibawa oleh Haji Datuk dari Tanah Suci atas perintah Syekh Maulana Maghribi dengan mempergunakan tempat dari bambu (bumbung). Setelah upacara penyucian selesai, bumbung berisikan sisa air disandarkan pada pohon waru, tetap karena kurang cermat menyandarkannya maka robohlah bumbung tadi dan pecah sehingga air sisa tersebut berhamburan dan di tempat tersebut konon kabarnya menjadi mata air yng tidak mengenal kering dimusim kemarau.

Setelah pertapa disucikan menjadi pemeluk agama Islam, maka namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. KemudianSyekh Jambu Karang akan mendapatkan wejangan (bai’at), beliau menunjukkan suatu tempat yang serasi dan cocok untuk upacara bai’at tersebut yaitu diatas bukit ‘Kraton’. Sesaat setelah Syekh Jambu Karang menerima wejangan, turun hujan lebat disertai dengan angin ribut yang mengakibatkan pohon-pohon disekeliling tempat itu menundukkan dahan-dahannya seperti sedang menghormati Gunung Kraton yaitu tempat dimana Syekh Maulana Maghribi sedang memberikan wejangan (membai’at) Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim. Menurut hikayatnya, Syekh Jambu Karang mempunyai seorang putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang dipersunting oleh Syekh Maulana Maghribi, setelah Syekh Jambu Karang menjadi seorang Muslim dengan mas kawin berupa mas merah setanah Jawa. Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu Karang, Syekh Maulana Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. Dari perkawinannya tersebut menurunkan lima orang putera dan puteri, yaitu :

1. Makdum Kusen (Makam di Rajawana)
2. Makdum Medem (Makam di Cirebon)
3. Makdum Umar (Makam diKarimun Jawa)
4. Makdum (yang menghilang atau murca)
5. Makdum Sekar (Makam di Gunung Jembangan)

Adapun Syekh Jambu Karang tetap bermukim di Gunung Kraton, dan setelah wafat dimakamkan ditempat itu pula dan tempat pemakamannya disebut ‘Gunung Munggul’ (puncak yang tertinggi didaerah itu).

Syekh Maulana Maghribi yang terkenal dengan ‘Mbah Atas Angin’ selama empat puluh lima tahun bermukim disuatu tempat atau pedukuhan yang bernama ‘Banjar Cahayana’ (mungkin tempat tersebut didiami setelah menemukan cahayanya). Di tempat tersebut Mbah Atas Angin menderita penyakit gatal-gatal yang susah disembuhkan. Hal ini menimbulkan keprihatinan disertai dengan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya diberi rahmat serta berkah terhindar dari penyakitnya itu.

Sesudah sholat Tahajud.dia mendapat Ilham bahwa dia harus pergi ke Gunung ‘Gora’ dimana ia akan mendapatkan obat mujarab untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Kemudian pagi-pagi waktu Shubuh Mbah Atas Angin bersama Haji Datuk pergi kearah barat dan pada siang hari sampailah mereka dilereng Gunung Gora. Sesudah sampai di lereng Gunung Gora beliau meminta Haji Datuk untuk meninggalkannya dan beristirahat sambil menunggu di tempat yang datar, sebab Mbah Atas Angin akan meneruskan perjalanannya kearah suatu tempat yang mengepulkan asap.

Ternyata disitu ada sumber air panas dan Syekh Maulana Maghribi menyebutnya ‘Pancuran Pitu’ yang artinya sebuah sumber air panas yang mempunyai tujuh mata air. Setiap hari Syekh Maulana Maghribi mandi secara teratur di tempat itu, dengan begitu dia sembuh dari penyakit gatalnya. Sesudahnya beliau memanjatkan do’a syukur kehadirat Illahi serta mengucap syukur bahwasanya ia telah dikaruniai sembuh dari sakitnya yang telah sangat lama dideritanya. Setelah ia kembali ketempat dimana Haji Datuk menunggu, ia berkata : Saksikanlah, saya sekarang telah sembuh dari sakitku dan telah terhindar dari penderitaan.

Selanjutnya Dia mengganti nama Gunung Gora itu menjadi ‘Gunung Slamet’. Slamet dalam bahasa Jawa berarti aman. Selama Syekh Maulana Maghribi berobat di Pancuran Pitu, Haji Datuk tetap dan taat menunggu ditempat yang ditunjuk semula dan kepadanya diberi julukan ‘Haji Datuk Rusuladi’. Rusuladi artinya ‘Batur Yang Baik’ (Adi). Dan konon kabarnya tempat tersebut oleh penduduk sekitarnya hingga kini disebut dengan ‘BATURRADEN’.

Sekilas Sejarah Mendoan Banyumas

Sekilas Sejarah Mendoan Banyumas

Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Tidak jelas kapan pembuatan tempe dimulai. Namun demikian, makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.

Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16 (Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19) telah ditemukan kata "tempe", misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan. Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa—mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16.

Kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut.

Selain itu terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan. Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji1 kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.

Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe. Menurut Onghokham, tempe yang kaya protein telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang padat dan berpenghasilan relatif rendah.

Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an terjadi sejumlah perubahan dalam pembuatan tempe di Indonesia. Plastik (polietilena) mulai menggantikan daun pisang untuk membungkus tempe, ragi berbasis tepung (diproduksi mulai 1976 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan banyak digunakan oleh Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia, Kopti) mulai menggantikan laru tradisional, dan kedelai impor mulai menggantikan kedelai lokal. Produksi tempe meningkat dan industrinya mulai dimodernisasi pada tahun 1980-an, sebagian berkat peran serta Kopti yang berdiri pada 11 Maret 1979 di Jakarta dan pada tahun 1983 telah beranggotakan lebih dari 28.000 produsen tempe dan tahu.
Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai "ragi tempe".

Tempe banyak dikonsumsi di Indonesia, tetapi sekarang telah mendunia. Kaum vegetarian di seluruh dunia banyak yang telah menggunakan tempe sebagai pengganti daging. Akibatnya sekarang tempe diproduksi di banyak tempat di dunia, tidak hanya di Indonesia. Berbagai penelitian di sejumlah negara, seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat. Indonesia juga sekarang berusaha mengembangkan galur (strain) unggul Rhizopus untuk menghasilkan tempe yang lebih cepat, berkualitas, atau memperbaiki kandungan gizi tempe. (dari berbagai sumber)

Wisata Sejarah di Banyumas

Mblusuk Wirasaba

Wirasaba Sebelum Terlambat
Rabu 28 Desember 2011

Wirasaba seperti yang kita ketahui adalah awal dari 4 kabupaten di karesidenan Banyumas, sebagai desa kuno tentunya desa ini memiliki banyak sekali cerita dan peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya. 28 Desember 2011 adalah momen yang tepat untuk melihat lebih dekat mempelajari dan mendokumentasikan sisa-sisa peninggalan agar masyarakat luas tau apa yang ada disana dan seperti Wirasaba itu ...

Sesuai dengan pengumuman yang telah disebarkan melalui email, Blog, Facebook dan SMS hari ini teman-teman dari 3 komunitas berbeda yaitu Banjoemas History Heritage Community BHHC, komunitas fotografi Lensa manual reg. Purwokerto dan komunitas pecinta kereta dari DAOP V SPOORLIMO dan follower www.banjoemas.com sebanyak sebelas orang berkumpul di GOR Satria Purwokerto untuk bersama berwisata sejarah bertajuk "Wirasaba Sebelum Terlambat".

Tepat jam 7.30 kita menuju 3 Km ke arah timur kota Purwokerto, Stasiun Sokaraja adalah lokasi pertama blusukan kita dimana dulu SDS membangun Stasiun ini pada tahun 1896 dan meresmikannya pada 05 Desember 1896. Bangunan Stasiun yang berupa Peron dan Gudang masih utuh hanya sekarang beralih fungsi sebagai Gedung PWRI Persatuan Wredatama Republik Indonesia dan juga bangunan menara air masih ada. Namun rangkaian rel yang membentuk stasiun dan membagi rel ke arah pabrik Gula kalibagor dan Pabrik Tepung Tapioka sudah hilang entah kemana. Setelah team berputar-putar mencari jejak stasiun akhirnya team melanjutkan perjalanan dengan menyusuri rel yang terbentang antara Stasiun Sokaraja sampai Stasiun Banjarsari.

Di tengah perjalanan kita menemui bekas persilangan rel SDS dengan rel lori Pabrik Gula Kalibagor di desa Karangsawah dan sedikit mendokumentasikan bekas jembatan lori yang tinggal pondasinya saja. Di Stasiun Banjarsari kita tidak bisa masuk ke dalam lokasi bangunan karena sepertinya bangunan stasiun telah menjadi hak milik perorangan. Jadi kita hanya mendokumentasikan lokasi diluar bangunan utama. Stasiun Banjarsari dahulu adalah stasiun percabangan ke arah Purbalingga dan ke arah Klampok - Banjarnegara dan Wonosobo.

Team akhirnya meneruskan perjalanan dengan menyusuri bekas rel yang kearah Klampok setelah tidak sma sekali menemukan bekas-bekas lain di Banjarsari. Banjarsari klampok adalah track lurus sehingga memudahkan team untuk menyusurinya. Beberapa lokasi bekas rel berubah menjadi jalan kampuny yang beraspal namun sebagian besar jalur masih berupa tanah, masih terdapat jembatan SDS yang asli namun beberapa sudah berubah menjadi jembatan cor.

MBLUSUK
Team sedang menyusuri jalur mati SDS

MBLUSUK
Team meniti bekas jembatan SDS
MBLUSUK
Jembatan bekas jalur SDS di atas sungai Klawing masih kokoh berdiri

Di Daerah Sumilir kalialang Team menemukan bangunan semacam halte yang setelah di cek dengan peta Belanda yang kami punya ternyata memang dahulunya bekas halte Muntang. Dari sini hanya berjarak sekitar 100m ke arah timur kita menemukan sebuah Jembatan yang lumayan tinggi namun lebih menakjubkan lagi 50 m ketimur lagi sebuah jembatan dengan kerangka besi panjang dan megah menjulang tinggi masih sangat kokoh melintas diatas sungai Klawing. Inilah kejutan untuk kita semua yang baru melintasi jalur ini, terutama teman kita dari komunitas Spoorlimo dan Lensa Manual Purwokerto dan beberapa follower. Berhenti agak lama di sini sambil beristirahat di atas jembatan.

Perjalanan kami lanjutkan kembali setelah puas mengambil gambar dan beristirahat, track masih lurus dan kanan kiri juga masih berupa kebun, sawah dan ilalang sampai di desa Karang Kemiri yang dimana dulunya juga terdapat halte Karangkemiri.

MBLUSUK
Pendopo Tirtasentana di desa Kembangan

MBLUSUK
Makam Ki Tirtasentana dan istrinya

Dari sana Team melanjutkan perjalanan ke Sebuah Pendopo Tirtasentana di desa Kembangan dimana BHHC diundang untuk mendokumentasikan situs Keluarga besarnya dan situs-situs yang lain di Wirasaba. Di Pendopo Tirtasentana sedang di adakan kumpulan trah Tirtasentana seluruh Indonesia. Disana kita disambut oleh Mbah Tomo yang merupakan penghubung BHHC dengan Keluarga Tirtasentana dan Djajadi Wangsa di Wirasaba. Oleh mbah Tomo kita seluruh team di ajak berkeliling ke lingkungan Pendopo yang masih asli itu. Dan Puas melihat pendopo kitapun meluncur ke Pemakaman di desa Kembangan yang merupakan pemakaman umum dimana banyak keluarga Tirtasentana dimakamkan.

MBLUSUK
4 wewelar atau pantangan yang terkenal itu

MBLUSUK
Cungkub makam Adipati Wargohutomo I

Selanjutnya Mbah Tomo mengajak ke desa Pekiringan dimana adipati Warga Hutama I dimakamkan. Adipati Warga Hutama I adalah adipati yang meninggal terbunuh di dusun Bener karena kesalahpahaman penguasa Pajang. Dari adipati inilah yang menurunkan 4 pantangan yang sangat terkenal itu;
- Jangan makan Pindang Angsa
- Jangan tinggal di rumah dengan atap Bale Malang
- Jangan memelihara kuda Dawuk Bang (Abu kemerahan)
- Jangan bepergian di Sabtu Pahing

Dari Pekiringan team menyebrang lewat jembatan bekas jalur SDS yang melintas diatas sungai Serayu. Setelah menyebrangi jembatan jalur bertemu dengan jalan kampung, dan team pun berhenti disana. Mbah Tomo menceritakan bahwa dahulu Djajadi Wangsa mengusulkan ke Maskapai SDS untuk membuat jalur khusus bongkar muat hasil pertanian dan perkebunan miliknya. Dan dari sinipun mbah Tomo memperlihatkan dermaga kecil di tepi sungai Serayu di belakang pendopo Djajadi Wangsa. Dermaga ini adalah sarana transportasi untuk mendistribusikan Hasil perkebunan dan pertaniannya ke pelabuhan Cilacap sebelum dibangunnya jalur rel SDS di desa Wirasaba.

MBLUSUK
Dermaga yang dahulu di gunakan untuk mengangkut hasil bumi milik Djajadi Wangsa

MBLUSUK
Cungkub makam Ki Djajadi Wangsa

Kemudian pendopo Djajadi Wangsa adalah tujuan selanjutnya, kita semua masuk dan melihat kedalam pendopo yang masih sangat orisinil dan terawat. Tuan rumah yang merupakan ahli waris pendopo Djajadi Wangsa menerima kami semua dengan ramah, namun kita tidak bisa berlama-lama di sana karena jam sudah menunjukan jam 12 siang.

Masih ada dua tujuan lagi yang harus kita kunjungi yaitu Pemakaman keluarga besar Djajadi Wangsa di tepi Lanud Wirasaba. Cukup lama kita disana karena mbah Tomo menceritakan dengan detail siapa saja yang di makamkan disana hingga akhirnya sampai juga di tujuan terakhir perjalanan kita yaitu pemakaman orangtua Djajadi Wangsa di lereng sebelah selatan desa Kembangan.

Perjalanan wisata sejarah yang mengesankan bersama teman teman BHHC, Lensa Manual Purwokerto dan Spoorlimo, kitapun mengakhirinya di pendopo Tirtasentana, dimana kita disuguhi makanan tradisional macam Cimplung dan wedang dawegan. Selanjutnya kita berpamitan

Kami berharap jalur rel mati dapat di hidupkan kembali sebagai alat trasportasi masal atau wisata, dan lintas rel mati ini bisa berpotensi menjadi obyek wisata baru, yaitu wisata tracking.

Terimakasih www.banjoemas.com, komunitas BHHC, Komunitas Lensa manual dan Komunitas Spoorlimo dan dari keluarga Wirasaba mbak Estining 'Engky' , Pak Tomo , Pak Suyono dan keluarga besarnya ... dan semua pihak yang telah membantu melancarkan acara WIRASABA SEBELUM TERLAMBAT 28 Desember 2011.

Mblusuk Stasiun Wonosobo

Ini bukan Blusukan berencana, hanya mampir buat sekedar mendokumentasikan sudut-sudut stasiun Wonosobo. Karena satu mobil hanya saya sendiri yang turun dan sedikit mblusuk.
Sabtu 19 November 2011, mumpung pake mobil setir sendiri, dan yang ngikut temen-temen sendiri jadi aku sempet-sempetin mampir ke Stasiun Wonosobo dalam perjalanan ke Salatiga. Sebenernya sepanjang Klampok - Wonosobo saya udah nggak konsen ngelihat ke kanan dan ke kiri untuk nemuin artefak SDS dan bangunan kuno. Ku hanya pasrah sama cuaca yang mendung dan Istriku yang pegang kamera buat dokumentasikan artefak-artefak SDS, yang saya yakin nggak bakalan dapet maksimal, secara nyopirnya juga agak ugal-ugalan (kejar waktu).

Hanya bekal ingat-ingat penyusuran via Google Earth, dan dulu sering juga melintasi jalur ini. Saya masih inget betul dimana rel yang deketan sama jalan raya, mana perlintasan, jembatan, dan mana lagi ya .... hehehe banyak yang berubah setelah sekian lama tidak melewatinya.

Singkat cerita ku dah muter-muter akhirnya nemu juga yang namanya Setasiun kereta Wonosobo. Pertama yang ku temuin adalah bangunan gudang yang berada di Terminal Bus "Dieng", sebenernya ku agak bingung disini karena keadaan bangunan dengan foto yang ku lihat di bantons.wordpress.com agak sedikit berbeda. Sambil jeprat-jepret bangunan-angunan di sana ku sedikit menyusuri gang ke arah timur. dan akhirnya ku temukan juga sebuah bangunan yang mirip sekali dengan bangunan yang di foto oleh mas Banton di  bantons.wordpress.com. Masih ada Wessel dan kantor loket yang sekarang masih aktif sebagai kantor persewaan asset PT. KAI. Disana saya bertemu dengan pak Sudiono sebagai petugas pelayanan dan Kepala setasiun. Sebuah bagan rel dan wessel sempat saya repro.

Banjoemas Heritage
Tampak depan gudang besar

Banjoemas Heritage
Tampak belakang gudang besar dan con block bekas jalur utama rel kereta

Banjoemas Heritage
Tampak belakang gudang besar
Banjoemas Heritage
Perumahan pegawai PT. KAI yang sekarang di sewakan untuk umum juga

Banjoemas Heritage
Con Block Gang yang duluya adalah jalur utama rel dan besi bantalan percabangan

Banjoemas Heritage
Tampak belakang dan wesel

Banjoemas Heritage
Tampak belakang ada gudang kecil, ruang Kepala Stasiun (loket) dan Wesel
Banjoemas Heritage
Tampak Depan, inset nomer aset PT. KAI

Banjoemas Heritage
Bentuk loket dari luar dan dalam

Banjoemas Heritage
Pak Sudiono sedang melayani sewa-menyewa lahan PT.  KAI

Banjoemas Heritage
Bagan rel stasiun Wonosobo (klik +)

Banjoemas Heritage
Peta Kota Wonosobo dan arah jalan ke Stasiun (klik +)


Terimakasih buat pak Sudiono, Agung Gaung dan Istri, Kunts Animator, Istriku + anakku.

Mblusuk Rumah Tua Keluarga Kho

Perjalanan pencarian beberapa marga di kota Banyumas dan Sokaraja untuk sebuah proyek silsilah membawaku ke sebuah rumah keturunan keluarga Kho di sekitar pertigaan Klenteng. Pemilik rumah dengan ramah menerima saya dan mempersilahkan untuk memasuki lingkungan Rumah utama keluarga Kho yang sudah tidak di tinggali, dan hanya di gunakan untuk tempat sarang burung lawet saja. Seorang penjaga gedung mengantar saya dan mas Wawan ke dalam gedung, meski tidak begitu paham seperti apa fungsi rumah tersebut dahulunya. 

Pada bangunan yang saya kunjungi ini terdiri dari 3 bangunan, dua bangunan berarsitektur Indisch dan satu di tengah ber arsitektur Tionghoa. Arsitektur Tionghoa milik keluarga Kho ini sangat khas sebagai arsitektur Campuran antara Arsitektur Cina dan Jawa. Ini di perlihatkan adanya Pendopo di bagian tengah dimana terdapat Soko Guru atau empat pilar utama. Walaupun Dr Pratiwo M Arch, seorang peneliti arsitektur Tionghoa mengatakan bahwa arsitektur Tionghoa di Indonesia bukan merupakan arsitektur asli Tiongkok, karena menurut beliau arsitektur Tionghoa yang berada di Jawa tidak di ketemukan di sana. Namun menurutku tetap adanya unsur-unsur Tionghoa yang khas seperti bentuk atap, dinding, skat pemisah, countyard, ukiran dan beberapa elemen kayu yang tersusun seperti di Kelenteng.

Pada bangunan yang bergaya Indisch berada di samping kanan dan kiri. Pada bangunan sebelah kanan jenis bangunan dan beberapa peralatan yang menunjukan kalau dahulu merupakan dapur dan ruangan untuk pembantu. sedangkan pada bangunan sebelah kiri terdapat ruangan yang besar dan tinggi, kalau saya melihat ini semacam bangunan kantor. 


Simulasi tiga dimensi (download) sudah saya siapkan dan bisa dilihat di Google Earth (download) , dengan terlebih dahulu mendowloadnya.


Banjoemas Heritage
Tampakan gedung secara keseluruhan

Banjoemas Heritage
Bagian depan bangunan berarsitektur bergaya Indisch

Banjoemas Heritage
Bagian arsitektur bergaya Tionghoa

Banjoemas Heritage
Sebuah mobil Opel Olympia (1951) dibiarkan teronggok

Banjoemas Heritage
Detail Ukiran gaya Tionghoa dan Emboss

Banjoemas Heritage
Bagian arsitektur bergaya Belanda mengapit rumah bergaya Oriental

Banjoemas Heritage
Bagian pintu dan jendela bangunan barsitektur Tionghoa

Banjoemas Heritage
Pintu ruangan di dalam bangunan Tionghoa

Banjoemas Heritage
Interior bergaya Tionghoa

Banjoemas Heritage
Beberapa foto yang kemungkinan adalah Kho Lie

Banjoemas Heritage
Countyard di tengah rumah

Banjoemas Heritage
Selasar bangunan bergaya Indisch

Banjoemas Heritage
Selasar dan atap bangunan bergaya Indisch

Banjoemas Heritage
Selasar dan pilar bangunan belakang 

Banjoemas Heritage
Lantai satu bangunan belakang

Keluarga Kho sangat terkenal karena merupakan saudagar kaya pada masa kolonial, dan salah satu keluarganya merupakan Letnan Tionghoa bernama yaitu Letnan Tionghoa Kho Han Tiong atau ketua etnis Tionghoa di Sokaraja pada masa itu. Keturunan keluarga Kho yang terkenal adalah Kho Sin Kie dimana dia merupakan atlet tenis muda pertama dari Sokaraja yang mendunia. Hho Sin Kie merupakan lulusan THHT (Sekolah Tionghoa di Sokaraja)

Terimakasih kepada keluarga Kho, keluarga Go, ibu Leny, penjaga Gedung, mas Wawan dan Koh Senu (keluarga Bhe). Terimakasih juga buat Pak Alfian dari purwokertoantik.com

Beberapa tulisan di ambil dariwww.antaranews.com
Artikel ini juga bisa di baca di www.banjoemas.com

Mblusuk Jalur SDS Purwokerto - Patikraja

Hari ini Sabtu 4 Juni 2011 sesuai yang sudah di jadwalkan sebelumnya melalui Facebook banjoemas.com.  Penelusuran ini adalah yang pertama kali di lakukan bersama dengan follower blog banjoemas.com, Railfans dan pecinta fotografi Lensa Manual reg. Banyumas (LM).

banjoemas.com
Peta Google Earth Pasirmuncng Wetan
banjoemas.com
Lokasi persimpangan yang di buat setelah SS (Staats Spoorwegen) pada tahun 1915
Jalur telepon pun kelihatannya mengikuti jalur SDS
Perjalanan dimulai pada  08.15 setelah terkumpul 6 orang (Saya, Arif, Rizky, Hilmy dan  Dodo, Wisnu (LM). Lokasi pertama dari percabangan SS dan SDS di Pasirmuncang Timur, menurut Amstari yang tinggal di samping rel letaknya berada di 150 m  ketimur dari Perlintasan kereta dari Stasiun Purwokerto Timur ke Stasiun Besar Purwokerto. Rel sepertinya berada di antara gang Konvoi Barat dan gang selatannya, ini jika ditarik garis lurus dari persimpangan rel ke Gang Margabakti.dan ini dibenarkan oleh seorang warga Robertus Joko Prayanto yang kita temui di lokasi Penelusuran. Dua rumah yang kita tengarai dulunya sebagai rel pun merupakan aset milik PT.KAI.
banjoemas.com
Peta Google Earth Pasirmuncang Wetan

banjoemas.com
Gang Margabakti
Perjalanan dilanjutkan ke gang Margabakti yang dipastikan dulunya adalah jalur SDS dari Maos ke Purwokerto. Sampai di pertigaan mentok, terdapat gang tapi posisinya lebih tinggi dari gang Margabakti. Dari sini kita tidak yakin bahwa gang merupakan bekas jalur rel. Sepanjang jalan yang kita lalui bahkan adalah tanggul selokan, hingga kita menjumpai sebuah kuburan di sebelah STM. Disana kita bertemu dengan seorang bapak yang mengatakan bahwa jalur rel berada di bawah selokan yang tadi dilalui oleh rombongan. Jadi kalo di tarik dengan garis memang benar bahwa kemungkinan rel adalah di bawah selokan.
banjoemas.com
Peta Google Earth Tanjung

banjoemas.com
Team gabungan Lensa Manual, Railfans dan Follower

banjoemas.com
Bekas jalur rel ternyata berada di bawah selokan

banjoemas.com
Mendapatkan informasi tambahan di lokasi

banjoemas.com
Team gabungan menyusur sepanjang selokan yang berada diatas bekas jalur SDS
Dari sana medan perjalanan semakin basah dan sulit, sementara kita terus saja terheran-heran dengan track yang kita lalui karena jalan yang di tunjuk oleh bapak di kuburan sama dengan yang sebelumnya, sedangkan tanah di bawahnya (sekitar 2 - 5 meter) terdapat tanah yang luasnya sekitar 3 sampai 5 meter yang sudah berubah menjadi kolam dan kebun yang berada di sepanjang selokan yang kita lalui. Sesampainya di sebuah perkampungan kita mencari narasumber yang bisa menjelaskan keberadaan bekas rel SDS itu. Kita bertemu dengan bapak Mardi, dan membawa kita tepat di pinggir kampung. Disana dia menjelaskan bahwa tanah  yang di bawah parit itulah yang dulunya merupakan jalur kereta SDS. maka terjawab sudah keraguan kita.
banjoemas.com
Peta Google Earth Tanjung (jembatan)

banjoemas.com
Team mencocokan Peta  Belanda + Peta Google Earth + GPS

banjoemas.com
Pak Mardi menunjukan dimana letak rel SDS dulu berada

Jam sepuluh kurang 3 menit kita menyeberang jalan lewat saluran air di atas jalan Veteran yang konon di gali pada tahun 1950han. Melintasi saluran air adalah tantangan tersendiri, dimana ketinggian sekitar 10 meteran diatas jalan raya.
banjoemas.com
Team melewati saluran air diatas jalan Veteran

banjoemas.com
Team melewati saluran air diatas jalan Veteran

banjoemas.com
Team melewati saluran air diatas jalan Veteran

Perjalanan setelahnya berjalan dengan penuh kepastian, bahwa bekas jalur rel berada di bawah selokan yang sedang kita lalui, walaupun kondisi bekas jalur rel sudah berubah menjadi semak belukar, kolam dan kebun. Hingga perkampungan di Kedungwringin, bekas rel semakin terlihat lebih jelas, dan bahkan terdapat sebuah bangunan semacam terowongan yang mungkin berfungsi sebagai saluran air melintas diatas jalur SDS. 
banjoemas.com
Peta Google Earth Perumahan Kedungwringin

banjoemas.com
Bekas jalur rel berubah menjadi semak belukar dan kolam warga

banjoemas.com
Sebuah terowongan yang diatasnya di jadikan jembatan warga
Dari sana medan yang kami lalui turun sejajar dengan jalur rel SDS, jalur ini memang landai. Pada peta lama yang Belanda buat terlihat disini terdapat jalur ganda. Tapi bekasnya tidak terlihat sama sekali karena adanya bangunan baru perumahan di Kedungwringin ini. Bahkan lokasi tempat kita beristirahat di Masjid Dhuefulloh Al Mutoiri letaknya tepat diatas cekungan bekas Jalur rel SDS.
banjoemas.com
Peta Google Earth Peta Karanggude

Setelah cukup perjalanan dilanjutkan, dari Masjid bekas jalur terlihat sangat jelas di samping jalan di perumahan, beberapa sudah didirikan bangunan, di pertigaan sebelah selatan jalur berubah menjadi jalan kampung hingga Karanggude. Masuk di perkampungan Karanggude jalur terpotong oleh rumah-rumah permanen. Sehingga kita harus bertanya kesana kemari untuk memastikan dimana letak rel sebenarnya. Disana kita bertemu dengan seorang bapak yang anaknya masih teman dari mas Arif dan Rizky. Bapak itu menjelaskan bahwa jalur berada di samping pekarangan rumahnya, dan hanya sedikit yang mengenai pekaranganya. Dulu lokasi ini adalah pereng (lembah) tapi setelah banyaknya penduduk, tanah berubah menjadi datar.

banjoemas.com
Jalur membatasi tanah kuburan dengan perumahan

banjoemas.com
Ibu Rasitem memberikan kesaksian dan informasi tentang dibongkarnya rel SDS

Team kembali masuk ke jalur yang berada di samping kuburan Karanggude, setelah melewati pekuburan kita bertemu dengan seorang ibu bernama Rasitem (75 tahun), beliau menceritakan bahwa rel dulunya berada di bawah pondasi rumahnya (bukan di gang) dan pada jaman setelah Jepang rel dibongkar dan ditumpuk oleh orang-orang Indonesia. " Pak Lurah, Pak Bau pokoke pejabat dusun sing ngertos nggenopo rile, kulo tiang alit dados mboten wani takon-takon" ( Pak Lurah, Pak Bau dan pejabat desa yang tau mengapa dan untuk apa rel di lepas, saya orang kecil jadi tidak berani bertanya). Lalu jalur rel SDS sebelah mana yang di bongkar oleh Jepang?

Sudah setengah 12 saya harus ke kantor (bekas) dan yang lainnyapun sudah kelelahan, maka penelusuran gabungan ini di hentikan dan kita semua pulang ke Purwokerto ...

Terimakasih buat team gabungan; Lensa Manual Regional Purwokerto(Foto-fotonya ditunggu), Railfans dan Follower www.banjoemas.com